Hadiah Pahala Untuk Ahli kubur
Pengiriman hadiah pahala kepada orang yang meninggal sering
disalahpahami oleh sebagian orang, dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah
dan dilarang dalam agama. Padahal persoalannya tidak sejauh itu. Pengiriman
hadiah pahala kepada orang yang meninggal, hanya berkisar antara sampai atau
tidak sampai, bukan antara boleh dan haram atau bid’ah. Berkaitan dengan
pengiriman hadiah pahala tersebut, ada dua hal yang perlu dijelaskan.
Pertama, pengiriman
hadiah pahala selain bacaan al-Qur’an, seperti sedekah, doa, istighfar dan aneka
kewajiban yang dapat diwakilkan. Dalam hal ini tidak ada perselisihan di
kalangan ulama tentang kesampaiannya sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu
Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (juz 2 hal. 427).
Kedua, pengiriman hadiah
pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang meninggal, menurut mayoritas ulama
salaf (Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal), akan sampai.
Sementara menurut Imam al-Syafi’i tidak akan sampai. Dalam hal ini, Imam
al-Syafi’i berargumentasi dengan ayat QS. al-Najm : 39;
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى.
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. al-Najm : 39).
Al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi berkata dalam risalahnya
tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang meninggal, bahwa
mayoritas ulama telah menjawab argumentasi Imam al-Syafi’i di atas dengan
beberapa hujjah berikut ini:
Pertama, ayat QS.
al-Najm : 39 telah di-nasakh (diganti status hukumnya) dengan ayat:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ. (الطور : 21).
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka.” (QS. al-Thur : 21).
Ayat ini menerangkan, bahwa Allah memasukkan anak cucu
ke surga karena kesalehan leluhurnya.
Kedua, ayat QS.
al-Najm : 39 di atas khusus bagi kaum Nabi Ibrahim u dan Nabi Musa u. Sedangkan umat Islam, akan memperoleh apa yang mereka usahakan
sendiri dan yang diusahakan orang lain untuk mereka sebagaimana dikatakan oleh
Ikrimah, seorang ulama tabi’in.
Ketiga, yang dimaksud
dengan manusia dalam QS. al-Najm : 39 tersebut adalah orang kafir. Sedangkan
orang mukmin akan memperoleh pahala yang diusahakannya sendiri dan yang
diusahakan orang lain untuknya, sebagaimana dikatakan oleh Imam ar-Rabi’ bin
Anas, dari kaum salaf.
Keempat, seorang
manusia memang hanya akan memperoleh pahala dari apa yang diusahakannya sendiri
berdasarkan keadilan Tuhan. Akan tetapi jika melihat anugerah Tuhan, boleh saja
Allah menambah pahalanya dengan apa yang diusahakan orang lain untuknya sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Husain bin
al-Fadhal.
Kelima, huruj jar
lam dalam kalimat lil-insan bermakna ‘ala, yaitu manusia
hanya akan disiksa karena apa yang diusahakannya. Jadi ayat tersebut berkaitan
dengan siksa, bukan pahala.
Di sisi lain, mayoritas ulama yang berpendapat sampainya pahala
bacaan al-Qur’an kepada orang yang meninggal berdalil dengan dalil-dalil
berikut ini:
Pertama, dianalogikan
dengan pahala doa, sedekah, puasa, haji dan memerdekakan budak yang dapat dihadiahkan
kepada orang yang meninggal. Menurut mereka, apabila pahala doa, sedekah,
puasa, haji dan memerdekakan budak dapat dihadiahkan kepada orang yang
meninggal, mengapa pahala bacaan al-Qur’an tidak bisa.
Kedua, tradisi kaum
salaf dari golongan sahabat Anshar yang membacakan al-Qur’an di makam keluarga
mereka yang meninggal sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf
[juz 4 hal. 236], dan al-Khallal dalam al-Amr bil-Ma’ruf wa al-Nahy ‘ani
al-Munkar [hal. 89]).
Ketiga, banyak sekali
hadits-hadits yang menunjukkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada orang
yang meninggal, (lihat dalam Syarh al-Shudur karya al-Hafizh al-Suyuthi hal. 267-269 dan al-Buhur al-Zakhirah karya Imam as-Safarini al-Hanbali
juz 1 hal. 359-363). Hadits-hadits tersebut meskipun
nilainya dhaif (lemah), akan tetapi secara keseluruhan menunjukkan bahwa
pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an memiliki dasar dari hadits Nabi r, sebagaimana ditegaskan oleh
al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi dan disetujui oleh al-Hafizh
al-Suyuthi.
Keempat, kaum Muslimin
dalam setiap kurun waktu selalu berkumpul dan membacakan al-Qur’an untuk
orang-orang mereka yang meninggal tanpa ada ulama yang mengingkarinya, sehingga
hal tersebut dianggap ijma’. Demikian pernyataan al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul
Wahid al-Maqdisi, ulama terkemuka madzhab Hanbali, dalam risalahnya.
Di sini perlu ditegaskan
beberapa hal yang sering disalahpahami oleh sebagian kalangan. Pertama,
Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai, maksudnya apabila al-Qur’an tidak
dibaca di atas makam si mati dan atau pembaca tidak berdoa agar pahala
bacaannya sampai kepada si mati. Sedangkan apabila pembaca tersebut membaca
al-Qur’an di atas kuburan, atau berdoa agar pahalanya sampai kepada orang yang
meninggal, maka beliau berpendapat sampai sebagaimana ditegaskan oleh para
ulama Syafi’iyyah.
Kedua, Imam Syafi’i
tidak melarang membaca al-Qur’an di atas kuburan. Bahkan beliau menganjurkan
membaca al-Qur’an di kuburan orang yang meninggal. Beliau sendiri pernah
membaca al-Qur’an sampai khatam di makam gurunya, Imam Laits bin Sa’ad. Hal ini
seperti ditegaskan oleh al-Hafizh Murtadha al-Zabidi dalam Syarh Ihya’ Ulum
al-Din, juz 10 hal. 369-371. Dari sini tidak ada alasan bagi kaum yang anti
tahlilan untuk berkata, bahwa Imam Syafi’i melarang tahlilan.
Ibnu
Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawanya, “ Sesuai dengan kesepakatan para
imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah
badaniyah seperti shalat,puasa,membaca al-Qur’an ,ataupun ibadah maliyah
seperti sedekah dan lain-lainnya.Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang
berdo’a dan membaca istighfar untuk mayit.” . begitu juga pendapat Imam
al-Syaukani dari kitab Syarh al-kanz.
Beberapa dalil yang menjelaskan hal
tersebut diatas :
1. Firman
Allah Swt. : “ Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar),mereka berdo’a ,” Ya Tuhan kami ,ampunilah kami dan orang-orang yang
mendahului kami (wafat) dengan membawa imam . Dan janganlah Engkau memberikan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman . ya Tuhan
kami,sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang .”
(QS.al-Hasyr:10).
2. Hadits
shahih ,Nabi saw. : “ Dari ‘Aisyah ra.
“ Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw, “ Ibu saya meninggal dunia secara
mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat
berwasiat,tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya
bersedekah atas namanya ?.” Nabi Saw. Menjawab, “ Ya”. ( HR.Muslim (1672).
ketika sahabat yang tidak punya mengeluh pada Nabi,apa kata Nabi,Bukankah bacaan tahmaid sedekah,takbir sedekan takbir juga sedekah bahkan tidak ketinggalan tahlilpun juga sedekah,( Shoheh Muslim,1674 ) jadi baik hidup atau mati Umat Muslim mendapat manfa'at sebetulnya dalil ' Ahlussunnah " itu semuanya sudah kuat.lihatlah dikupastuntas ttg sampainya pahala di "blogthohiranam.blohspot.com " ttg tahlil atau hadiah pahala.
BalasHapusYitu yang lebih mudah untuk difahami,kalau tahyat didalam sholat yang dido'akan semua para Nabi dan orang-orang sholeh di seluruh dunia bahkan bacaan sholawatnya kepada Nabi Muhammaddan keluarganya termasuk Nabi Ibrahiim dan keluarganya, semua itu bukan anaknya,itu dalil yang kuat dan pasti,kerrena semua idividu pasti mengerjakan semua,tanpa kecuali, ini bukti bahwa sholawa,bacaan Qur'an ketika menyolati mayyit,dan do'a semuanya sampai.asal jangan menapsirkan surat Annajmi dan menapsirkan hadist awwaladin sholeh jangan asal-asalan,dijamin semua beresssssssss?????????? wallohu aklam.
BalasHapusSekarag ini kan banyak Ustadz-ustadz yangbelum mumpuni birbacara pada hal layak,andaikan semua memenui syarat dan sesuwai apa yang disabdakan tidak akan ada perselisihan yang memcolok seperti ini,yaa semogalah mereka cepat diberi hidayah olah Alloh swa amiiinnnn.
BalasHapus