Faham Ahlussunnah Wal Jama'ah
* Baca Al-Qur'an diatas kuburan
* Bersalaman Setelah shalat berjama'ah
* Tentang Tarawih
* Walimatussafar
Ahlussunnah wal jama'ah pada hakekatnya adalah ajaran
Islam yang sebenarnya seperti diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya.Oleh karena itu ahlussunnah wal jamaah sudah timbul
bersamaan dengan munculnya agama islam,sejak disampaikan syariah dan ajaran oleh
Rasulullah. Golongan ahli sunah wal jama'ah adalah golongan pengikut setia
ajaran yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw beserta
Sahabatnya. Hadist Nabi dari Auf bin Malik ra,berkata : Nabi bersabda :"
Demi tuhan yang diri Muhammad ditangannya : Sungguh akan bercerai berai umatku
sebanyak 73 golongan.maka hanya satu golongan yang akan masuk surga,sedang yang
72 lagi akan dimasukkan kedalam neraka."ditanya orang : Siapakah mereka
wahai Rasul ,?beliau menjawab Ahlussunnah wal jamaah ." ( HR. Thabrani).
Definisi Ahlus sunnah waljamaah :
1. AHLUN : Bermakan : a. Keluarga , b. Pengikut c. Penduduk
2. SUNNAH : Bermakna : Bahasa : Jejak dan Langkah , makna secara syarí adalah Jejak yang diridlai oleh Allah Swt.menjadi pijakan dalam agama,dan telah ditempuh oleh rasulullah Saw.atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti para sahabat.
3. JAMAÁH : Bermakana Menjaga kekompakan,kebersamaan dan kerukunan , walaupun ada perbedaan tetapi saling menghormati dan tidak saling membidahkan, menfasikkan dan tidak mengkafirkan. kebalikkannya Mufaroqoh : pecah belah .
Definisi Ahlus sunnah waljamaah :
1. AHLUN : Bermakan : a. Keluarga , b. Pengikut c. Penduduk
2. SUNNAH : Bermakna : Bahasa : Jejak dan Langkah , makna secara syarí adalah Jejak yang diridlai oleh Allah Swt.menjadi pijakan dalam agama,dan telah ditempuh oleh rasulullah Saw.atau orang yang menjadi panutan dalam agama seperti para sahabat.
3. JAMAÁH : Bermakana Menjaga kekompakan,kebersamaan dan kerukunan , walaupun ada perbedaan tetapi saling menghormati dan tidak saling membidahkan, menfasikkan dan tidak mengkafirkan. kebalikkannya Mufaroqoh : pecah belah .
Karakteristik Ajaran
Islam ala Ahli sunnah wal jama'ah :
1. Attawasut , yaitu jalan tengah
,tidak ekstrim kanan atau kiri . silahkan teliti ajaran islam ahli sunnah
waljama'ah bidang aqidah, bidang hukum islam ( fiqih ) , akhlaq pasti jauh dari
ekstrimisme dan radikal .
2. Attawazun, yakni menjaga
keseimbangan dan keselarasan, sehinga terpelihara antara kepentingan dunia dan
akhirat , kepentingan pribadai maupun masyarakat, kepentingan masa kini dan
akan datang.
3. Attasamuh, yaitu bersikap toleran
terhadap perbedaan pandangan antara madzhab, ummat islam sendiri dengan tetap
menjaga Ukhuwah islamiyah . bahkan toleran terhadap lain agama , segaimana
Rasulullah dan sahabatnya membangun Masyarakat Madani .
4. Amar ma'ruf nahi munkar . dengan
prinsip ini akan timbul kepekaan dan mendorong perbuatan yang baik.
HUJJAH AMALIYAH NU
عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح البخارى, باب الطعم عند القدوم)
Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).
As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atau semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)
Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)
Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).
Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah. Wallahua’lam bishshawab. (Ngabdurrahman al-Jawi)
---------------
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Fatimah, bangunlah. Dan saksikanlah qurbanmu. Karena, setetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kau lakukan. Dan bacalah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, korbanku, hidupku, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta Alam. Dan untuk itu aku diperintah. Dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, apakah ini untukmu dan khusus keluargamu atau untuk kaum muslimin secara umum? Rasulullah SAW menjawab, “Bahkan untuk kaum muslimin umumnya.”
Referensi:
1. Al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhabil Imam as- Syafi’i, Abu Ishaaq as-Syiraazi
2. Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
3. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
Ketentuan dalam Menyembelih Hewan Qurban
Proses penyembelihan hewan qurban didahului dengan:
1. Membaca basmalah
2. Membaca Shalawat pada Nabi
3. Menghadap ke arah kiblat (bagi hewan yang disembelih dan orang yang menyembelih)
4. Membaca takbir 3 kali bersama-sama
5. Berdoa agar qurbannya diterima oleh Allah, orang yang menyembelih mengucapkan;
Rukun penyembelihan itu ada 4, yaitu;
1. Dzabhu (pekerjaan menyembelih)
2. Dzabih (orang yang menyembelih)
3. Hewan yang disembelih
4. Alat menyembelih
Syarat dalam pekerjaan menyembelih adalah memotong hulqum (jalan nafas) dan mari' (jalan makanan). Hal ini apabila hewannya maqdur (mampu disembelih dan dikendalikan)
Kesunnahannya:
a. Memotong wadajain (dua otot yang ada disamping kanan dan kiri)
b. Menggunakan alat penyembelih yang tajam
c. Membaca bismillah
d. Membaca shalawat dan salam pada Nabi Muhammad. Karena menyembelih itu adalah tempat disyari'atkan untuk ingat pada Allah, maka juga disyari'atkan ingat pada Nabi
Syarat orang yang menyembelih:
a. Orang Islam / orang yang halal dinikahi orang Islam
b. Bila hewannya ghoiru maqdur, maka disyaratkan orang yang menyembelih adalah orang yang bisa melihat. Dimakruhkan sembelihannya orang yang buta, anak yang belum tamyiz dan orang yang mabuk.
Syarat hewan yang disembelih:
a. Hewannya termasuk hewan yang halal dimakan
b. Masih memiliki hayatun mustaqirrah (kehidupan yang masih tetap), bukan gerakan di ambang kematian kematian.
Syarat alat penyembelih:
Yaitu berupa sesuatu yang tajam yang bisa melukai, selain tulang belulang.
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:
Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.
Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.
Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.
Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.
Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.
Dalam kitab yang sama disebutkan, pendapat Imam Syafii ini sama dengan pendapat
Imam Abu Hanifah. Sedang Imam Ahmad mengatakan, tidak wajib Jumatan bai
penduduk desa maupun kotadan gugurlah kewajiban Jum’atan sebab mereka telah
mengerjakan shalat Id, hanya saja mereka tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur.
Malah menurut Imam Atha’ Jum’atan dan shalat dzhuhurnya gugur sekaligus, dan
pada hari itu tidak ada shalat setelah shalat Id kecuali shalat ashar.
Hadits tentang rukhsah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:
Rasulullah menjalankan shalat Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jum’at, kemudian beliau bersabda," Siapa ingin shalat Jum’at, Silakan!" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim).
HUJJAH AMALIYAH NU
Membaca
Al-Qur'an di Kuburan
Agama Islam
menganjurkan untuk saling mendoakan sesama muslim, walaupun terhadap muslim
yang telah meninggal dunia. Ini membuktikan bahwa persaudaraan antara muslim
itu bersifat abadi, tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga ketika
salah satu diantara mereka telah meninggal. Bahkan persaudaraan itu akan
berlanjut kelak di akhirat.Ulama ahli fiqih bersepakat, bahwa amalan orang yang
masih hidup yang diperuntukkan kepada yang telah meninggal berpahala sama.
Amalan itu tidak hanya sebatas doa, tetapi juga amalan-amalan lain yang
bermanfaat bagi yang telah meninggal dunia. Seperti sedekah, membaca al-Qur’an,
dan membayarkan qadha puasa.
Dalam kitab
Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dijelaskan ada dua pendapat mengenai hukum
membaca al-Qur’an di kuburan. Madzhab Malikiyah menganggap hal itu makruh.
Sedangkan mayoritas ulama mutaakhkhirin memperbolehkannya. Dan pendapat
terakhir inilah yang berlaku di kalangan kaum muslimin sekarang.
Jika kita mau memperhatikan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya beliau telah bersabda: “barang siapa yang melewati kuburan dan membaca surat al-fatihah sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka diberikan kepadanya pahal dengan hitungan orang yang telah meninggal tadi”.
Jika kita mau memperhatikan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya beliau telah bersabda: “barang siapa yang melewati kuburan dan membaca surat al-fatihah sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka diberikan kepadanya pahal dengan hitungan orang yang telah meninggal tadi”.
Adapun
hadits yang lebih spesifik menerangkan tentang membaca al-Qur’an di kuburan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra yang artinya:”barang
siapa berziarah kepada kubur kedua orang tuanya atau salah satunya, kemudian ia
membaca surat Yasin di pekuburan, dia telah diampuni dengan hitungan ayat atau
huruf ayat tadi. Dan orang tersebut suda h dianggap berbuat baik kepada orang
tuanya”.
Dalam kitab
yang sama dijelaskan, Qadhi Abi Thayyib ketika ditanya tentang menghatami
al-Qur’an di maqbarah (kuburan), menjawab bahwa pahalanya bagi orang yang
membaca. Sedangkan mayit, seperti orang yang hadir, diharapkan mendapat barokah
dan rahmat Allah swt.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa membaca al-Qur’an di pekuburan tidak dilarang oleh
Agama Islam. bahkan, membaca al-Qur’an dengan pengetian tersebut disunnahkan.
Sumber:
KH.MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat. Surabya: Khalista &
LTN PBNU
Sunnahnya
Walimatus Safar
Bagi
masyarakat muslim Indonesia, ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam
tindakan yang menunjang ibadah itu sendiri, yang selanjutnya di kenal dengan
tradisi. Sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari keterpengaruhan
antara budaya local dengan Islam. Kita mengenal ngabuburit, kultum, kolak, buka
puasa bersama, mudik dan lainsebagainya di sekitar puasa. Kita juga mengenal
tahlilan, talqin, tujuh hari dan seterusnya dalam tradisi kematian. Dan juga
walimatus safar bagi ibadah haji. Hal ini merupakan karakter Islam Indonesia
yang tidak dimiliki oleh Islam yang lain. Tradisi ini tidak muncul begitu saja,
ia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai tradisi
tersebut dilahirkan melalui pemikiran yang dalam oleh para kyai dan ulama
pendahulu melalui berbagai pertimbangan soiologis. Apa yang dilakukan para ulam
terdahulu ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi tetapi menciptakan lahan
ibadah tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi dengan pahala bagi yang
menjalankannya.
Di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi, tradisi semacam ini haruslah dijaga untuk membentengi masyarakat dari individualism yang akut. Akan tetapi di kemudian hari, mereka yang tidak tahu dan tidak mau belajar sejarah menggugat beberapa tradisi itu dengan menganggapnya sebagai hal bid’ah, bahkan menghukumi para pelakunya sebagai pendosa. Naudzubillah min dzalik.
Di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi, tradisi semacam ini haruslah dijaga untuk membentengi masyarakat dari individualism yang akut. Akan tetapi di kemudian hari, mereka yang tidak tahu dan tidak mau belajar sejarah menggugat beberapa tradisi itu dengan menganggapnya sebagai hal bid’ah, bahkan menghukumi para pelakunya sebagai pendosa. Naudzubillah min dzalik.
Begitu juga
halnya dengan walimatussafar. Para ulama pendahulu tidak mungkin mewariskan
tradisi kepada anak-cucunya sebuah bid’ah tanpa alasan. Terbukti dalam sebuah
hadits diterangkan:
عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم لماقدم المدينة نحر جزورا اوبقرة (صحيح البخارى, باب الطعم عند القدوم)
Artinya:
hadits diceritakan oleh Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah saw
datang ke madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing
atau sapi (Shahih Bukhari, babut Ta’mi indal qudum)
Begitu pula
yang diterangkan dalam al-Fiqhul Wadhih
يستحب للحاج بعد رجوعه الى بلده ان
ينحر جملا او بقرة او يذبح شاة للفقراء والمساكين والجيران والاخوان تقربا الى
الله عزوجل كمافعل النبي صلى الله عليه وسلم
Artinya:
disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta atau
sapi atau kambing untuk diberikan kepada faqir, miskin, tetangga, saudara. Hal
ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt seperti yang dilakukan
Rasulullah saw. (al-fiqhul wadhih minal kitab wassunnah, juz I . hal 673
Rasa syukur
atas ni’mat yang begitu besar karena telah diberi kemampuan untuk melaksanakan
ibadah haji setelah melunasi ONH, diapresiasikan dalam bentuk walimatus sasfar
yang dilakukan menjelang pemberangkatan. Di samping mengungkapkan rasa syukur,
momen walimatus safar juga bermanfaat untuk berpamitan dan mohon do’a restu
kepada para tetangga dan keluarga. Di sinilah kelebihan tradisi Islam di
Indonesia. Selalu mempertimbangkan kebersamaan dan kekeluargaan dalam
sebuah peribadatan, selain juga ridha Allah swt sebagai tujuan yang utama.
Bersalaman Setelah Shalat
Bersalaman
setelah shalat adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam karena bisa menambah
eratnya persaudaraan sesama umat Islam. Aktifitas ini sama sekali tidak merusak
shalat seseorang karena dilakukan setelah prosesi shalat selesai dengan
sempurna. Meskipun demikian, banyak orang yang mempertanyakan tentang hukum
bersalaman, perbincangan seputar ini masih terfokus tentang bid’ah tidaknya
bersalaman ba’das sholat. Inilah yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Ada
beberapa hadits yang menerangkan tentang bersalaman diantaranya adalah riwayat
Abu Dawud:
عَنِ اْلبَرَّاءِ عَنْ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أنْ يَتَفَرَّقَا
Artinya : Diriwayatkan dari
al-Barra’ dari Azib r.a. Rasulallah s.a.w. bersabda, “Tidaklah ada dua orang
muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa
keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah.” (H.R. Abu Dawud)
عَنْ سَيِّدِنَا يَزِيْد بِنْ اَسْوَدْ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ: اَنَّهُ صَلَّى الصُّبْحَ مَعَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلّمْ.
وَقالَ: ثُمَّ ثَارَ النَّاسُ يَأخُذوْنَ بِيَدِهِ يَمْسَحُوْنَ بِهَا
وُجُوْهَهُمْ, فَأَخَذتُ
بِيَدِهِ فَمَسَحْتُ بِهَا وَجْهِيْ
Artinya :
Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad bahwa ia shalat subuh bersama
Rasulallah, lalu setelah shalat para jamaah berebut untuk menyalami Nabi, lalu
mereka mengusapkan ke wajahnya masing-masing, dan begitu juga saya menyalami
tangan Nabi lalu saya usapkan ke wajah saya. (H.R. Bukhari, hadits ke 3360).
عَن قلَدَة بن دِعَامَة الدَّوْسِيْ رَضِيَ الله عَنهُ
قالَ قلْتُ لاَنَسْ : اَكَانَتِ
اْلمُصَافحَة فِى اَصْحَابِ رَسُوْلِ الله, قالَ نَعَمْ
Artinya
:Dari Qaladah bin Di’amah r.a. berkata : saya berkata kepada Anas bin Malik,
apakah mushafahah itu dilakukan oleh para sahabat Rasul ? Anas menjawab : ya
(benar)
Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.
Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.
Pendapat para ulama.
1. Imam al-Thahawi.
Hadits-hadits di atas adalah menunjuk pada mushafahah secara umum, yang meliputi baik mushafahah setelah shalat maupun di luar setelah shalat.
Jadi pada intinya mushafahah itu benar-benar disyariatkan baik setelah shalat maupun dalam waktu-waktu yang lainnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits di atas.
Pendapat para ulama.
1. Imam al-Thahawi.
تُطْلَبُ اْلمُصَافحَة فَهِيَ سُنَّة عَقِبَ الصَّلاةِ
كُلّهَا وَعِندَ كلِّ لَقِيٍّ
Artinya:
Bahwa bersalaman setelah shalat adalah sunah dan begitu juga setiap berjumpa
dengan sesama Muslim.
2. Imam Izzuddin bin Abdissalam
Beliau berkata :
2. Imam Izzuddin bin Abdissalam
Beliau berkata :
اَنَّهَا مِنَ اْلبِدَعِ المُبَاحَةِ
Artinya :
(Mushafahah setelah shalat) adalah masuk dalam kategori bid’ah yang
diperbolehkan.
3. Syeikh Abdul Ghani an-Nabilisi
Beliau berkata :
3. Syeikh Abdul Ghani an-Nabilisi
Beliau berkata :
انَّهَا دَاخِلَة تحْت عُمُوْمِ سُنّةِ اْلمُصَافحَةِ
مُطْلقا
Artinya :
Mushafahah setelah shalat masuk dalam keumuman hadits tentang mushafahah secara
mutlak.
4. Imam Muhyidin an-Nawawi
Beliau berkata :
4. Imam Muhyidin an-Nawawi
Beliau berkata :
اَنَّ اْلمُصَا فحَة بَعْدَ الصَّلاة وَدُعَاء
المُسْلِمِ لآخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِأنْ يَّتقبَلَ الله مِنهُ صَلاتهُ بِقوْلِهِ
(تقبَّلَ الله) لاَ يَخفى مَا فِيْهِمَا مِنْ خَيْرٍ كَبِيْرٍ وَزِيَادَةِ
تَعَارُفٍ وَتألُفٍ وَسَبَب لِرِبَطِ القلوْبِ وَاِظهَار للْوَحْدَةِ وَالترَابُطِ
بَيْنَ اْلمُسْلِمِينْ
Artinya :
Sesungguhnya mushafahah setelah shalat dan mendoakan saudara muslim supaya
shalatnya diterima oleh Allah, dengan ungkapan (semoga Allah menerima shalat
anda), adalah di dalamnya terdapat kebaikan yang besar dan menambah kedekatan
(antar sesama) dan menjadi sabab eratnya hati dan menampakkan kesatuan antar
sesama umat Islam.]
(Disarikan dari buku Tradisi Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, LTM-PBNU)
(Disarikan dari buku Tradisi Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, LTM-PBNU)
Bau Kemenyan
Disukai Nabi
Sering kali
kita jumpai pembakaran kemenyan di tempat-tempat tertentu (misalnya makam para
wali). Dan juga sering dijumpai pada acara-acara tertentu (seperti doa sedekah
bumi) yang dilakukan secara islami dengan menggunakan bahasa Arab. Bagi sebagian
warga bau kemenyan diidentikan dengan pemanggilan roh, dan sebagian yang lain
menganggapnya sebagai pengharum ruangan, dan ada pula yang merasa terganggu
dengan bau kemenyan. Bagaimanakah sebenarnya hukum menggunkan kemenyan? Baik
dalam kehidupan sosial bermasyarakat maupun dalam urusan beribadah?
Mengharumkan
ruangan dengan membakar kemenyan, dupa, mustiki, setinggi kayu gaharu yang
mampu membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik. Karena hal ini itba’ dengan
Rasulullah saw. beliau sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak
wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa. Hal ini turun temurun diwariskan
oleh beliau kepada sahabat dan tabi’in. Hingga sekarang banyak sekali penjual
minyak wangi dan juga kayu gaharu, serta dupa-dupaan di sekitar Masjid Nabawi
dan Masjidil Haram.
Beberapa hadits
menerangkan tindakan sahabat yang menunjukkan kegemaran mereka terhadap
wangi-wangian hal ini ditunjukkan dengan hadits:
اذا جمرتم الميت
فأوتروا
Artinya:
Apabila kamu mengukup mayyit, maka ganjilkanlah (HR. Ibnu Hibban dan Alhakim)
Addailami juga
menerangkan
جمروا كفن الميت
Artinya:
Ukuplah olehmu kafan maayit
Dan Ahmad juga
meriwayatkan:
اذا اجمرتم الميت
فاجمرواه ثلاثا
Artinya:
Apabila kamu mengukup mayyit, maka ukuplah tiga kali
Bahkan beberapa
sahabat berwasiat agar kain kafan mereka diukup
أوصى أبوسعيد وابن
عمر وابن عباس رضي الله عنهم ان تجمر اكفنهم بالعود
Artinya: Abu
Said, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. Berwasiat agar kain-kain kafan mereka diukup
dengan kayu gaharu
Bahkan Rasulullah
saw. pernah bersabda
جنبوا مساجدكم
صبيانكم وخصومتكم وحدودكم وشراءكم وبيعكم جمروها يوم جمعكم واجعلوا على ابوابها
مطاهركم (رواه الطبرانى)
Artinya;
Jauhkanlah masjid-masjid kamu dari anak-anak kamu, dari pertengkaran kamu,
pendarahan kamu dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari
perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci. (HR.
Al-Thabrani).
Hadits-hadits
di atas sebenarnya menunjukkan betapa wangi-wangian adalah sesuatu yang telah
mentradisi di zaman Rasulullah saw dan juga para sahabat. Hanya saja media
wangi-wangian itu bergeser bersamaan dengan perkembangan zaman dan teknlogi.
Sehingga saat ini kita merasa aneh dengan wangi kemenyan dan dupa. Padahal
keduanya merupakan pengharum ruangan andalan pada masanya.
Di satu sisi
persinggungan dengan dunia pasar yang semakin bebas menyebabkan selera ‘wangi’
jadi bergeser. Yang harum dan yang wangi kini seolah hanya terdapat dalam
parfum, bay fress dan fress room. Sedangkan bau kemenyan dan dupa malah
diidentikkan dengan dunia klenik dan perdukunan.
Hukum Memegang Tongkat bagi Khotib
Jumhur
(mayoritas) ulama fiqh mengatakan bahwa sunnah hukumnya bagi khatib memegang
tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam
Syafi'i di dalam kitab al-Umm:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ
اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى
قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ
قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ
اِعْتِمَادًا
Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)
عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ
شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824).
As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atau semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)
فَإِذَا فَرَغَ المُؤَذِّنُ قَامَ مُقْبِلاً عَلَى
النَّاسِ بِوَجْهِهِ لاَ يَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً وَيُشْغِلُ يَدَيْهِ
بِقَائِمِ السَّيْفِ أَوْ العُنْزَةِ وَالمِنْبَرِ كَيْ لاَ يَعْبَثَ بِهِمَا أَوْ
يَضَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الآخَرِ
Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)
Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59).
Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah. Wallahua’lam bishshawab. (Ngabdurrahman al-Jawi)
---------------
Pembagian Daging Qurban dan
Ketentuan Lain Allah SWT
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Fatimah, bangunlah. Dan saksikanlah qurbanmu. Karena, setetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kau lakukan. Dan bacalah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, korbanku, hidupku, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta Alam. Dan untuk itu aku diperintah. Dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, apakah ini untukmu dan khusus keluargamu atau untuk kaum muslimin secara umum? Rasulullah SAW menjawab, “Bahkan untuk kaum muslimin umumnya.”
Referensi:
1. Al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhabil Imam as- Syafi’i, Abu Ishaaq as-Syiraazi
2. Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd
3. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
KH Ishomuddin
Dosen FAI Univ Darul Ulum Jombang
Dosen FAI Univ Darul Ulum Jombang
Ketentuan-ketentuan dalam Qurban
Ketentuan dalam Menyembelih Hewan Qurban
Proses penyembelihan hewan qurban didahului dengan:
1. Membaca basmalah
2. Membaca Shalawat pada Nabi
3. Menghadap ke arah kiblat (bagi hewan yang disembelih dan orang yang menyembelih)
4. Membaca takbir 3 kali bersama-sama
5. Berdoa agar qurbannya diterima oleh Allah, orang yang menyembelih mengucapkan;
Rukun penyembelihan itu ada 4, yaitu;
1. Dzabhu (pekerjaan menyembelih)
2. Dzabih (orang yang menyembelih)
3. Hewan yang disembelih
4. Alat menyembelih
Syarat dalam pekerjaan menyembelih adalah memotong hulqum (jalan nafas) dan mari' (jalan makanan). Hal ini apabila hewannya maqdur (mampu disembelih dan dikendalikan)
Kesunnahannya:
a. Memotong wadajain (dua otot yang ada disamping kanan dan kiri)
b. Menggunakan alat penyembelih yang tajam
c. Membaca bismillah
d. Membaca shalawat dan salam pada Nabi Muhammad. Karena menyembelih itu adalah tempat disyari'atkan untuk ingat pada Allah, maka juga disyari'atkan ingat pada Nabi
Syarat orang yang menyembelih:
a. Orang Islam / orang yang halal dinikahi orang Islam
b. Bila hewannya ghoiru maqdur, maka disyaratkan orang yang menyembelih adalah orang yang bisa melihat. Dimakruhkan sembelihannya orang yang buta, anak yang belum tamyiz dan orang yang mabuk.
Syarat hewan yang disembelih:
a. Hewannya termasuk hewan yang halal dimakan
b. Masih memiliki hayatun mustaqirrah (kehidupan yang masih tetap), bukan gerakan di ambang kematian kematian.
Syarat alat penyembelih:
Yaitu berupa sesuatu yang tajam yang bisa melukai, selain tulang belulang.
Kiai M. Sholihuddin Shofwan
* Katib Syuriyah MWCNU Bareng Jombang, dan Ketua
LTN-NU Jombang
FASAL TENTANG SHALAT TARAWIH (1)
Pengertian
Qiyamu Ramadhan Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di
Indonesia, selalu saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam
bulan Ramadhan menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual.
Bahkan ada juga di kalangan masyarakat papan menengah ke bawah dan pinggiran,
menjadi sumber konflik, antara jamaah satu dengan jamaah lain, antara masjid
satu dengan masjid lainnya bahkan ada yang konflik antar keluarga, antara
menantu dan mertua bisa terjadi retak dan bercerai gara-gara tidak sepaham
dengan amaliyah yang dianutnya.
Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.
Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.
Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه
وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:
Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه
وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري
Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).
Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.
Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.
Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.
Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.
Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.
Hadits tentang rukhsah ini diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berikut ini:
قال: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَصَ فِي الْجُمْعَةِ،
فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Rasulullah menjalankan shalat Id kemudian memberikan rukhshah untuk tidak menjalankan shalat Jum’at, kemudian beliau bersabda," Siapa ingin shalat Jum’at, Silakan!" (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darami serta Ibnu Khazimah dan Al-Hakim).
KH Munawir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
(Persoalan ini diulas oleh penulis dalam buku "Tradisi Orang-orang NU")
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
(Persoalan ini diulas oleh penulis dalam buku "Tradisi Orang-orang NU")
Dalil hadits dituliskan juga sanad dan rawnya selengkap mungkin
BalasHapus