Persoalan seputar bi'dah

 
                                                                          Pemahaman Bid’ah

Al-Imam Sulthanul Ulama Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam (577-660H) mengatakan : “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw.’  ( qawa’id al-ahkam fi mashalih al-anam,juzII,hal172).
         Cakupan bid’ah itu sangat luas sekali ,meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada/terjadi pada masa Nabi saw.Oleh karenaitulah sebagian besar ulama membagi bi’dah menjadi lima macam :
1)    Bid’ah Wajibah ,yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkaan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti seperti mempelajari ilmu nahwu,sharaf,balaghah,ilmu hadist,tafsir al-qur’an .( seperti Pembukuan Al-qur’an pada masa Khalifah usman bin affan ra. bahkan lebih jauh lagi pembukuaan Hadist-Hadis  Nabi Saw ,dan lain-lain  , itu semua tidak pernah atau tidak ada pada masa Rasulullah Saw.  )  .
2)    Bid’ah Muharramah,yakni  bid’ah yang bertentangan dengan syara’ seperti bid’ah paha, jabariyah,qadariyah dan murji’ah . ( segala sesuatu akidah atau peribadatan yang sudah baku dilakukan oleh Nabi Saw, tapi dibuat hal yang baru seperti Shalat dengan bersiul, Naik haji tidak perlu ke Mekkah dsb. )
3)    Bid’ah Mandubah ,yakni segala sesuatu yang baik , tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw, misalnya shalat tarawih secara berjamaah sebulan penuh. Mendirikan madrasah/pesantren , bertahlillan , bentuk tasyakuran , dsb.) Bentuk peribadatan yang tidak baku dilakukan oleh Nabi Saw , seperti Dzikir dan do’a , tapi dikerjakan sesuai dengan kondisi dan waktu yang berbeda-beda . )
4)    Bid’ah Makruhah ,yakni menghiasi Masjid dengan hiasa yang berlebihan .
5)    Bid’ah Mubahah ,yakni seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan makanan yan lezat. ’  ( qawa’id al-ahkam fi mashalih al-anam,juzI,hal173).
Lima macam bid’ah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian ,yakni :
1.     Bid’ah Hasanah , yakni perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam , seperti perkataan Syayyidina Umar bin Khatthab ra. “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini ( yakni shalat tarawih dengan berjamaah ) .” (HR.al-bukhari(1871) dan malik dalam al-muwatha’ (231 ).
2.     Bid’ah Sayyi’ah , yakni perbuatan baru yang secara nyata bertentangan dengan ajaran islam.
                       Pembagian tersebut sesuai dengan hadist nabi dengan sanad Jarir bin abdillah  ra. yang diriwaytkan Muslim ( 483). Lebih jelas lagi penjelasan Imam Syafi’i ra. dalam Buku Fath al-bari; juz xvii ,hal 10 ).

Pendapat tentang Bid'ah

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)


Komentar